Transformasi Kader Da’wah


“Sebuah aktualisasi diri menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter islami, mampu menjadi da’i, dan pemimpin serta perancang strategi”.

Dalam sketsa kenyataan dakwah kampus kita, peranan seorang kader sebagai anasirud da’wah ternyata perlu mendapatkan otokritik. Dan barangkali ini juga otokritik buat pribadi penulis. Bagaimana kita mengkritisi saudara kita sendiri. Bukan permasalah kritik atau teguranya yang kita teruskan atau hentikan disini, tetapi dari mana sumber kritis itu berasal. Apakah dari kemarahan, kebencian, kedengkian, ataukah kecintaan, mahabbah, dan kasih sayang. Kemarahan dalam hal normatif bukanlah sebuah penyakit, kata Said Hawwa. Kemarahan juga tidak bisa dihindarkan dari diri manusia ungkap Al Ghazali. Dan kemarahan berpenyakit inilah yang harus kita hindari-kemarahan yang zalim dan cepat marah lambat untuk sembuh. Semoga kritik ini bersumber dari mahabah seorang kader yang tengah gelisah melihat sketsa kampus saya saat ini. Benarkah ada tidaknya lembaga da’wah kampus mujuduhu ka’adamihi, ada tidaknya sama saja. Ada juga selalu sibuk dengan urusan internal, tanpa ada reaksi out of anger seperti kalangan para aktivis sosialis. Namun konteks kita adalah out of anger kepada kebathilan. Kebathilan yang makin merajalela di kampus. Maka haruslah ada proses transformasi kader da’wah.
Transformasi dalam konteks ini tidak sekedar transformasi cara berfikir dan bertindak dari jahiliyah ( kebodohan ) menjadi islami, tetapi ada transformasi antara kekuatan robbani menjadi amal islami di barengi dengan kreativitas kader dalam merekayasa dan mengeksekusi agenda dakwah. Artinya dari sekian banyaknya keberagaman spesialisasi karakter, mampu menjelmakan diri menjadi pribadi utuh dengan tidak menghilangkan karakter utamanya. Mampu mempengaruhi perilaku dan fikrah mahasiswa umum, menjaring kader, dan menguasai jaringan. Kader adalah mutiara, dimanapun berada tetaplah mutiara.
Tantangan dan tribulasi da’wah dalam era jahriyah jamahiriyyah dewasa ini membutuhkan atau menyedot banyak sumber daya yanga ada. Setelah era muasasi dan memasuki era siyasi serta kini bergerak dalam mihwar dauliy, tuntutan lahan da’wah semakin luas dan banyak. Padahal, masih banyak kita kekurangan sumber daya dengan isti’ab internal memadai untuk menyuplai kekurangan atau kekosongan lahan garapan yang ada.
Perlu difahami oleh para aktivis da’wah bahwa rekayasa kaderisasi tidak hanya menciptakan kader yang mapan secara fikriyah dan ruhiyah, akan tetapi mampu menjadikan keduanya sebagai motor penggerak amaliyah. Kita tidak tidak hanya sekedar mencetak kader yang pandai bicara, pandai berstrategi, pandai berdebat, akan tetapi juga pandai dalam transformasi amaliyah nyata, bukan sekadar bermelankoli ria dengan angan-angan kosongnya. Semuanya perlu kesadaran realitas, idealitas, dan rasionalitas yang seimbang. Kader yang dominan dengan nilai-nilai transendental ( idealitas ), maka yang terjadi sikap perfectionist, inginya selalu sempurna padahal kita adalah manusia biasa. Memandang aspek realitas saja terjadilah sikap pragmatis, tidak perduli jalan yang penting tujuan didapatkan. Hanya memandang konteks rasionalitas jadilah sikap banyak omong dan suka berteori.
Betapa pentingnya arah transformasi kader bagi da’wah kita, trasnformasi yang tersusun dan terkelola dengan baik adalah kunci kesuksesan gerakan. Tidak tahu, apakah isyarat kematian da’wah kampus kita akan benar-benar menjelma jika tak ada karya secara bersama beraksi, entah itu dari kantin ke kantin, fakultas ke fakultas, personal ke personal, atau tempat-tempat nongkrong favorit. Barangkali sudah saatnya kita bangun dari masjid.Realita selalu bicara apa adanya. Jikalah semua orang pergi menghindar, lalu siapa yang akan menanggung beban ini sampai terdampar, seluruh atau sebagian saja.?Kita. Wallahu'alam


Related Posts



 
Copyright © Embun Inspirasi | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog